Rabu, 01 Juli 2015

ETIKA SEBAGAI PENGONTROL DALAM PENCAPAIAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN



ETIKA BISNIS BUKAN LAH PEMBATAS DALAM PENCAPAIAN KEUNTUNGAN AKAN TETAPI SEBAGAI KONTROLING
Tidak dikatakan sebagai bisnis jika tujuan dari seseorang melakukan sebuah usaha adalah bukan untuk mendapatkan keuntungan , namun kemudian apakah keutungan lalu dijadikan sebagia satu satunya tujuan pokok, jika iya . maka dapat dipastikan orang tersebut tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah didapatkanya.
Ketika seseorang yang menjadikan keuntungan sebagai satu satunya tujuannya dalam melakukan sebuah bisnis, maka dapat dipastikan bahwa ia pasti akan melakukan segala cara untuk bisa mendapakan keuntungan secara maksimal,

Ketika itu sudah terjadi maka akan banyak pihak yang dirugikan , dikarenakan seseorang yang sudah ambisius akan mekukan hal hal yang melanggar etika dalam berbisnis, banyak sekali pelanggran yang terjadi dalam sebuah bisnis yang berdampak negative bagi banyak pihak, saya contohkan disini seseorang yang memperkerjakan anak dibawah umur untuk menekan biaya produksi, mengapa menekan biaya produksi,, karena apabila SDM yang diperkerjakan pastilah gaji yang ditentukan pun hanya ditentukan oleh sebelah pihak, sehingga akan sewenang wenang ketika menentukan gaji bagi karyawan tersebut, masalah yang akan ditimbulkan tidak hanya akan berhenti disitu, produk yang akan dihasilkan pun kwalitasnya tidak akan maksimal, karena SDM yang mengolah bukanlah SDM yang professional. Masalah lainnya anak tersebut juga akan terampas hak- haknya , dan akan banyak lagi hal lainnya yang akan ditimbulkan
Disinilah peran dari etika bisnis akan nyata diperlukan , salah satunya sebagai pengontrol ataupun juga disebut pengendali, agar seorang pebisnis tidak melakukan kegiatan bisnis yang melanggar etika bisnis. Sehingga keutunganbisnis tidak dijadikan satu satunya tujuan bisnis pribadi ataupun kelompok, akan tatapi juga bagi orang lain.

Dalam salah satu teorinya Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Dalam teori tersebut dapat dijelaskan bahwa, seseorang melakukan bisnis hendaknya mempunyai maksud adalah untuk memenuhi kebutuhan orang banyak , dan apabila kita mendapatkan keutungan itu adalah motivasi kita untuk melakukan bisnis.

Perlu diingat juga bahwa hal buruk pasti tidak akan bertahan lama, sehingga perlu dipikirkan lagi apabila ingin membuat usaha  tetapi melanggar etika yang berlaku.
Ketika kita beranggapan bahwa Etika Bsnis adalah pembatas kita dalam memperoleh keuntungan yang sebesar besarnya , sebenarnya tidak begitu, karena dengan kita mematuhi etika bisnis justru kelangsungan perusahaan akan terjamin, karena dikelola berdasarkan etika, sehingga para SDM yang ada didalam nya pasti akan menerapakan sifat sifat berikut : Integritas, komunikasi baik, Terbuka, Kridibilitas Dan team work. Dengan begitu akan tercipta lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif.

Minggu, 26 April 2015

Keuntungan Sebagai Tujuan perusahaan
                        Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap bisnis selama terjadi dalam rangka promosi ,untuk memperkenalkan suatu produk baru atau untuk mengiming iming publik.
                Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi dengan system keuangan . bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan kusus memperoleh keuntungan financial . Robert Solomon mengatakan , bila ia menekan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter . Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis , dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang mempergunakan uang.Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi. karena itu diadakannya transaksi keuanganyang bisa menghasilkan keuntungan, selalu mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian.Jika disini kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian.
Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas, kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, prektek pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam system ekonomi pasar bebas.
.Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Perspektif baik atau buruk secara moral selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi perusahaan sebagai organisasifor profit menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat.Kalau keuntungan menjadi tujuan bisnis, pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas saja, guna mencapai tujuannya dengan lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi hal seperti itu tidak  boleh dilakukan dan dengan itu kita menjumpai kenyataan yang disebut etika.
1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita - cita kapitalisme liberal
 Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat  begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormatimereka sebagai manusia. Pada Abad ke-18 filsuf asal Jerman Immanuel Kant telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukan dia sebagai tujuan.Menurut immanuel Kant prinsip etis yang mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut :

”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah
sebagai sarana belaka.
Halnya dalam suatu perusahaan, semua karyawan dalam perusahaan dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping itu juga untuk membantu mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak  boleh dipergunakan sebagai sarana belaka yang dimanfaatkan hanya untuk mencapai tujuan semata. Mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman serta sehat dan harus diberikan gaji yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan mempunyai pengaruh besarnya bagi perusahaan.
Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini etika tidak diangkat bicara, tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat dan hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan satu-satunya tujuan perusahaan. Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan ditfsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.
Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau.. Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara yang tidak manusiawi. Para buruh diberi upah yang sangat rendah, hari kerja yang sangat panjang, tidak ada jaminan keselamatan para pekerja, jika buruh sakit langsung diberhentikan dan semena-mena, banyaknya tenaga anak dibawah umur dan para wanita.
Studi sejarah menunjukan bahwa memaksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalismeliberal yang menterbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya.Dalam zaman pasca komunis sekarang hal itu mendesak dengan cara baru. Suatu proses maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak yang mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak


2. Masalah Pekerja Anak
Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur demi
pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya, “dibawah umur”
harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Pekerjaan anak menjadi suatu masalah etis yang serius dalam zaman industrialisasi.Dalam convention on the rights of the child
yang diterima dalam sidang umum PBB pada1989diserahkan kepada masing-
masing Negara anggota untuk “menetapkan usia minimum atau usia
-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi
ketenagakerjaan internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimumuntuk diperbolehkan bekerja. Disitu negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkanusia minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru mensahkankonvensi tersebut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun.
Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negative yang agak umum terhadap anak  pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu dianggap tidak etis. Pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan. Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kita melanggar hak anak, jika kita menuntut dari mereka apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau belum sanggup menjalankan kebebasanya. Anak yang bekerja tidak mendapatkan pendidikan disekolah dan karena itu mereka dirugikan seumur hidup. Tidak pernah mereka bisa keluar dari kehidupan bodoh dan miskin. Seringkali terutama anak perempuan di sini menjadi korban, karena oleh orang tuanya dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak dipilih sebagai pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis.oleh sebabitu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena mengeksploitasi tenaga mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi, karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.
Alasan kedua menegaskan bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis
.Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi, di sini etika tidak  boleh menjadi rigorus. Seandainya anak tidak bekerja, hal itu tidak berarti ia akan masuk sekolah dan masa depan lebih baik terjamin baginya. Pekerjaan mereka kadang-kadang mempunyai segi positif juga, karena dengan bekerja anak bisa belajar dalam arti memperoleh ketrampilantertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa dijalankan dalam keadaan yang tidak sama. Kalau anak  bekerja dalam keadaan sehat dan dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita nilai positif, ketimbang anak yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi udara sangat buruk,hari kerja sangat panjang dan pembayaran sangat rendah. Tidak semua kasus pekerja anak boleh disamakan. Pertimbangan-pertimbangan utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan dalam penilaian etis tentang pekerja anak.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an perusahaan multinasional mendapat kritik pedas dari mediakomunikasi,karena mempekerjakan anak dibawah umur dalam proses produksinya. Salah satu perusahaan yang terkena imbasnya adalah perusahaan Nike. Hal tersebut terjadi setelah Nike dituduh mempekerjakan anak-anak dipabrik asia,yang harus bekerja dalam kondisi buruk dengan upah rendah.

Cara untuk mengatasi masalah pekerja anak:
1.Kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen.
2.Kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkantenaga kerja dibawah umur.
3.Membuat produk dengan no sweet label yang menjamin produk tersebut tidak dibuatd engan tenaga kerja dibawah umur

.Penelitian 84% masyarakat AS rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli suatu produk asalkan produk dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.
Sedangkan untuk di indonesia sendiri,masalah tenaga kerja dibawah umur sudah sangatmemprihatinkan. Menurut sensus 1990,ada sekitar 2,4 juta anak berumur 10-14 tahun yang bekerja. Baik dalam instansi formal maupun informal.

Contohnya kasus yang khususnya ada di Sumatra Utara, bocah-bocah tersebut harus bekerja diataas jermal-jermal di tengah laut. Mereka  bekerja sampai 19 jam per hari.”pekerjaan mereka mengambil ikan teri dari jaring, memasang jaring kembali,memasak, menjemur, memilih jenisikan teri yang baik, selama berbulan-bulan. Tanpa istirahat seharipun. Pengusaha hanya memberiupah sekitar Rp.40.000 sampai dengan Rp.90.000 perbulan (januari 1997).

Untuk mengatasi hal tersebut kembali terulang, pemerintah mengeluarkan undang-undang no. 25tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (yang sudah beberapa kali ditunda berlakunya) ditentukan15 tahun sebagai batas minimum pekerja indonesia. Semua perusahaan dilarang mepekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun (pasal 95). Tetapi larangan ini tidak berlaku bagi anak yang terpaksa bekerja. Disini dijelaskan masalah ekonomi dari keluarga bersangkutan dengan syarat tidak boleh dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari. Mereka tidak boleh diikutkan dalam pekerjaan yang berbahaya (pasal 96). Jadi,disini diambil alih pikiran dasar dari peraturan MenteriTenaga Kerja no. 1 Tahun 1987. intinya bahwa kenaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis
3. Relativasi Keuntungan
Tidak bisa disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Jika keuntungan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan sukses dalam bisnis,maka perdagangan narkotika harus dianggap  good business,karena dapat mendatangkankeuntungan yang sangat banyak. Perdagangan narkotika seperti itu justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika tidak merupakan good business Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga pada bisnis lain pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan segi moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by objectives sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah
cost benefit analysis.Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang dikeluarkan.Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis jika keuntungan dijadikan satu-satunya objective atau benefi dengan mengorbankan semua faktor lain.
Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan  profit bukan bisnis lagi. Supaya bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal. Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit.
Pada taraf ekonomi yang lebih luas peran keuntungan tidak  boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis di UniSoviet yang disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.
Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak  pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan cara yang berbeda-beda.

Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri (misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.
Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas,tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan akhir dari bisnis,

Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis:

·         Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensimanajemen dalam perusahaan
·         Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai olehmasyarakat.
·         Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha
·         Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan
·         Keuntungan mengimbangi risiki dalam usaha

4. Manfaat Bagi Stakeholders

Definisi Stakeholders
Stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan.
R. Edward Freeman : “ Individu - individu dan kelompok- kelompok yang dipengaruhioleh tercapainya tujuan- tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhitercapainya tujuan-tujuan tersebut “.
 Kamus bahasa Indonesia : “ pihak yang berkepentingan “ yaitu semua pihak yang
 berkepentingan dengan suatu perusahaan.
Manfaat Bagi Stakeholders
 Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti berkepentingan dengan sepak terjang perusahaan. Kalau perusahaan memeperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden.Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Disamping para pemegang saham ada banyak  pihak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Seperti : manajer,karyawan, pemasok, konsumen, masyarakat sekitar lokasi perusahaan, masyarakat luas, pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.Stakeholders dibagi lagi atas 2 pihak :1.

Pihak berkepentingan internal ( orang dalam dari suatu perusahaan )Orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegangsaham, manajer, dan karyawan.1.

Pihak berkepentingan eksternal ( orang luar dari suatu perusahaan )orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan. Misalnya, para pemasok pada umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan eksternal. Tetapi jika pemasok tersebuthanya memasok kebutuhan satu perusahaan saja maka ia termasuk pihak  berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung kecil yang menyediakanmakanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya tergantung pada perusahaan.Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua kehilangan sumber pendapatannya.Paham stakeholders ini membuka prespektif baru untuk membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup atau memindahkan suatuunit produksi dalam suatu pabrik




Dampak negative yang timbul dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar  besarnya dalam dunia perfilman

Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat  begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan, dalam pemaksimalan keuntungan itu sendiri pastinya juga akan menimbulkan dampak negative ,dalam hal ini adalah persaingan yang tidak sehat dalam dunia pertelevian
Fungsi pertelevian sejatinya memiliki fungsi sebagai media yang memiliki fungsi untuk memberi informasi dan hiburan, namun dalam perkembanganya banyak televise ataupun stasiun televise yang mengabaikan nilai nilai moral, melakukan persaingan yang tidak sehat.
Sekarang ini sedikit sekali stasiun televise yang mengutamakan pendidikan moral, edukasi , ataupun informasi informasi yang bermanfaat, tetapi saat ini banyak sekali tayangan televise yang tidak memili manfaat ataupun kepentingan untuk masyarakat, karena hanya menampilkan tayangan yang hanya sekedar untuk hiburan atau bahkan banyak hal negative didalamnya , banyak sekali saat ini tayangan tayangan televise yang menyalahi norma , sebagai contoh, sebuah stasiun televise  yang menampilkan sinetron sinetron .
Ketika melihat merebaknya berbagai sinetron saat ini, secara tidak disadari kita sedang mengarah kepada pembentukan sistem nilai sesuai dengan apa yang ditampilkan di dalam sinetron tersebut. Ketika ditampilkan konflik si kaya dan miskin, seorang kaya dikesankan dengan kemewahan dan kekuasaan yang diukur dari banyaknya harta dan tingginya jabatan. Sedangkan si miskin ini hidup dengan seadanya dan kekurangan secara materi. Padahal kemiskinan itu tidak semata diukur dari materi saja. Hal tersebut seperti menyampaikan sistem nilai yang dibawa oleh kapitalisme bahwa siapa yang kaya dia adalah orang yang memiliki banyak harta. Hanya sedikit sinetron yang mengajarkan kekayaan hati. Sinetron ini menggambarkan kekayaan yang tidak diukur melalui harta semata-mata, seperti Si Doel dan Keluarga Cemara.

Beberapa jenis sinetron yang ada di TV Indonesia saat ini membawa dampak negatif bagi pemirsa. Tayangan yang membawa cerita mistik mengarahkan kepada keterbelakangan mental dan syirik terhadap Sang Maha Pencipta. Keterbelakangan mental dalam hal ini adalah menggambarkan betapa hebatnya jin dengan kekuatan-kekuatannya sehingga manusia seolah menjadi takut dan mendorong manusia takut. Ketika orang menonton sinetron jenis ini, orang tersebut akan merasa bahwa setan itu ada dan senantiasa nyata dan menakuti manusia bahkan bisa membunuhnya. Di sisi lain, ketika manusia percaya adanya setan dan merasa takut maka sebenarnya kita sudah masuk kepada rasa syirik kepada Maha Pencipta. Rasa takut tersebut disebabkan karena suguhan dari tayangan yang mengesankan zat yang gaib lebih kuat dari manusia. Dalam hal ini, unsur agama dijadikan sebagai penghancur dari keberadaan makhluk tersebut padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Suatu ketika ada seseorang yang diganggu oleh makhluk halus dan memperlihatkan kitab suci lantas digambarkan makhluk halus tersebut terbakar. Hal tersebut sudah masuk kepada kesesatan.

Selain itu, jenis sinetron yang membawa dampak buruk adalah sinetron dengan unsur cinta yang kuat. Dalam hal ini sistem nilai kembali mengalir deras. Sepasang anak muda dibuat tidak berdaya dan putus asa karena dipisahkan dengan kekasihnya. Di antara persoalan hidup lain, cinta digambarkan sebagai sebuah persoalan hidup yang amat sulit. Tidak tampak usaha yang keras untuk bertahan hidup dan kerja keras dalam bertahan hidup.
Namun mereka pihak pihak yang terlibat didalamnya mengabaikan dampak dampak tersebut karena meraka masih mengutamakan keuntungan perusahaan tanpa memikirkan kerelativitasan keuntungan itu sendiri.