Keuntungan Sebagai Tujuan perusahaan
Keuntungan
termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma
tidak merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap
bisnis selama terjadi dalam rangka promosi ,untuk memperkenalkan suatu produk
baru atau untuk mengiming iming publik.
Tidak
bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan keuntungan
atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi dengan system keuangan . bisnis
merupakan perdagangan yang bertujuan kusus memperoleh keuntungan financial .
Robert Solomon mengatakan , bila ia menekan bahwa keuntungan atau profit
merupakan buah hasil suatu transaksi moneter . Profit selalu berkaitan dengan
kegiatan ekonomis , dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Profit
diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang
mempergunakan uang.Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor
mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan
ekonomi. karena itu diadakannya transaksi keuanganyang bisa menghasilkan
keuntungan, selalu mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian.Jika disini
kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu
juga ada kemungkinan kerugian.
Karena
hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung
dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas,
kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, prektek pencarian
keuntungan, dan kompetisi dalam system ekonomi pasar bebas.
.Keterikatan
dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu
ekstra rawan dari sudut pandang etika. Perspektif baik atau buruk secara moral
selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja.
Tetapi perusahaan sebagai organisasifor profit menampilkan lebih banyak masalah
etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat.Kalau keuntungan menjadi tujuan
bisnis, pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas saja, guna mencapai
tujuannya dengan lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi hal seperti itu tidak boleh dilakukan dan dengan itu kita menjumpai
kenyataan yang disebut etika.
1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita - cita kapitalisme liberal
Memaksimalkan tingkat
keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan
timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam itu karyawan
diperalat begitu saja. Jika keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi
tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan.
Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak
menghormatimereka sebagai manusia. Pada Abad ke-18 filsuf asal Jerman Immanuel
Kant telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan
memperlakukan dia sebagai tujuan.Menurut immanuel Kant prinsip etis yang mendasar
dapat dirumuskan sebagai berikut :
”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan
pada dirinya dan tidak pernah
sebagai sarana belaka.
Halnya dalam suatu perusahaan, semua karyawan dalam
perusahaan dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi
disamping itu juga untuk membantu mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan
harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka yang
dimanfaatkan hanya untuk mencapai tujuan semata. Mereka harus dipekerjakan
dalam kondisi kerja yang aman serta sehat dan harus diberikan gaji yang sesuai
dengan apa yang mereka kerjakan dan mempunyai pengaruh besarnya bagi
perusahaan.
Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini
etika tidak diangkat bicara, tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat dan
hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan satu-satunya tujuan
perusahaan. Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan
perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan ditfsirkan sebagai sebuah
pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu
model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang
bisa berhasil.
Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau..
Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan
diperas dengan cara yang tidak manusiawi. Para buruh diberi upah yang sangat
rendah, hari kerja yang sangat panjang, tidak ada jaminan keselamatan para pekerja,
jika buruh sakit langsung diberhentikan dan semena-mena, banyaknya tenaga anak
dibawah umur dan para wanita.
Studi sejarah menunjukan bahwa memaksimalisasi keuntungan
sebagai tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu
sungguh berlangsung dalam kapitalismeliberal yang menterbelakangi
industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya.Dalam zaman
pasca komunis sekarang hal itu mendesak dengan cara baru. Suatu proses maksimalisasi
keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak yang mengakibatkan ketidakberesan
etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai
dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak
2. Masalah Pekerja Anak
Yang dimaksud disini adalah pekerjaan
yang dilakukan oleh anak dibawah umur demi
pembayaran uang yang digunakan
untuk membantu keluarganya. Logisnya, “dibawah umur”
harus disamakan dengan batas umur
wajib belajar. Pekerjaan anak menjadi suatu masalah etis yang serius dalam
zaman industrialisasi.Dalam convention on the rights of the child
yang diterima dalam sidang umum
PBB pada1989diserahkan kepada masing-
masing Negara anggota untuk
“menetapkan usia minimum atau usia
-usia minimum untuk dapat
memasuki lapangan kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi
ketenagakerjaan internasional
(ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimumuntuk diperbolehkan
bekerja. Disitu negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkanusia
minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18
tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia
baru mensahkankonvensi tersebut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15
tahun.
Dalam etika tidak cukup kita
mensinyalir saja sikap negative yang agak umum terhadap anak pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa
pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu dianggap tidak etis. Pekerjaan anak
ditolak terutama karena dua alasan. Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu
melanggar hak para anak. Kita melanggar hak anak, jika kita menuntut dari mereka
apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena belum dewasa, seorang anak juga
belum bebas atau belum sanggup menjalankan kebebasanya. Anak yang bekerja tidak
mendapatkan pendidikan disekolah dan karena itu mereka dirugikan seumur hidup.
Tidak pernah mereka bisa keluar dari kehidupan bodoh dan miskin. Seringkali
terutama anak perempuan di sini menjadi korban, karena oleh orang tuanya
dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak dipilih sebagai
pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis.oleh sebabitu
pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena
mengeksploitasi tenaga mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya
eksploitasi, karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.
Alasan kedua menegaskan bahwa
mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara
itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan
diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan
tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis
.Karena alasan-alasan tadi
mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi, di sini etika tidak boleh menjadi rigorus. Seandainya anak tidak
bekerja, hal itu tidak berarti ia akan masuk sekolah dan masa depan lebih baik
terjamin baginya. Pekerjaan mereka kadang-kadang mempunyai segi positif juga,
karena dengan bekerja anak bisa belajar dalam arti memperoleh
ketrampilantertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa dijalankan dalam keadaan
yang tidak sama. Kalau anak bekerja
dalam keadaan sehat dan dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita
nilai positif, ketimbang anak yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi
udara sangat buruk,hari kerja sangat panjang dan pembayaran sangat rendah.
Tidak semua kasus pekerja anak boleh disamakan. Pertimbangan-pertimbangan
utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan dalam penilaian etis tentang
pekerja anak.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an
perusahaan multinasional mendapat kritik pedas dari mediakomunikasi,karena
mempekerjakan anak dibawah umur dalam proses produksinya. Salah satu perusahaan
yang terkena imbasnya adalah perusahaan Nike. Hal tersebut terjadi setelah Nike
dituduh mempekerjakan anak-anak dipabrik asia,yang harus bekerja dalam kondisi
buruk dengan upah rendah.
Cara untuk mengatasi masalah
pekerja anak:
1.Kesadaran dan aksi dari pihak
publik konsumen.
2.Kode etik yang dibuat dan
ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan
tidak mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkantenaga kerja dibawah
umur.
3.Membuat produk dengan no sweet
label yang menjamin produk tersebut tidak dibuatd engan tenaga kerja dibawah
umur
.Penelitian 84% masyarakat AS
rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli suatu produk asalkan produk
dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.
Sedangkan untuk di indonesia
sendiri,masalah tenaga kerja dibawah umur sudah sangatmemprihatinkan. Menurut
sensus 1990,ada sekitar 2,4 juta anak berumur 10-14 tahun yang bekerja. Baik
dalam instansi formal maupun informal.
Contohnya kasus yang khususnya
ada di Sumatra Utara, bocah-bocah tersebut harus bekerja diataas jermal-jermal
di tengah laut. Mereka bekerja sampai 19
jam per hari.”pekerjaan mereka mengambil ikan teri dari jaring, memasang jaring
kembali,memasak, menjemur, memilih jenisikan teri yang baik, selama
berbulan-bulan. Tanpa istirahat seharipun. Pengusaha hanya memberiupah sekitar
Rp.40.000 sampai dengan Rp.90.000 perbulan (januari 1997).
Untuk mengatasi hal tersebut
kembali terulang, pemerintah mengeluarkan undang-undang no. 25tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan (yang sudah beberapa kali ditunda berlakunya)
ditentukan15 tahun sebagai batas minimum pekerja indonesia. Semua perusahaan
dilarang mepekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun (pasal 95). Tetapi
larangan ini tidak berlaku bagi anak yang terpaksa bekerja. Disini dijelaskan
masalah ekonomi dari keluarga bersangkutan dengan syarat tidak boleh
dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari. Mereka tidak boleh diikutkan dalam
pekerjaan yang berbahaya (pasal 96). Jadi,disini diambil alih pikiran dasar
dari peraturan MenteriTenaga Kerja no. 1 Tahun 1987. intinya bahwa kenaikan dan
kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis
3. Relativasi Keuntungan
Tidak bisa
disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam
bisnis. Jika keuntungan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan sukses
dalam bisnis,maka perdagangan narkotika harus dianggap good business,karena dapat
mendatangkankeuntungan yang sangat banyak. Perdagangan narkotika seperti itu
justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan
pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika tidak merupakan good business
Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga pada bisnis lain
pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan segi
moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by
objectives sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah
cost benefit analysis.Supaya
dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang
dikeluarkan.Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis.
Bisnis menjadi tidak etis jika keuntungan dijadikan satu-satunya objective atau
benefi dengan mengorbankan semua faktor lain.
Di satu pihak perlu diakui bisnis
tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Supaya bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi
karya amal. Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha
bisnis dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit.
Pada taraf ekonomi yang lebih
luas peran keuntungan tidak boleh diabaikan.
Seluruh sistem ekonomi pasar bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari
segala usaha bisnis. Sebagai contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis
di UniSoviet yang disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak
mengenal motif keuntungan.
Perlu ditekankan Keuntungan dalam
bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengarang telah mencoba untuk merumuskan
relativitas tersebut dengan cara yang berbeda-beda.
Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose
(maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat
subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya
bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi
menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan
kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis adalah
menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar
motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer
yang hanya mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat
papan angka tanpa melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai
intrinsik sendiri (misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat)
dan untuk menjadi bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.
Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak
hidup untuk bernapas,tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan akhir dari
bisnis,
Beberapa cara lain untuk
melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan perlunya
keuntungan dalam bisnis:
·
Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai
kesehatan perusahaan atau efisiensimanajemen dalam perusahaan
·
Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa
produk atau jasanya dihargai olehmasyarakat.
·
Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan
usaha
·
Keuntungan merupakan syarat kelangsungan
perusahaan
·
Keuntungan mengimbangi risiki dalam usaha
4. Manfaat Bagi Stakeholders
Definisi Stakeholders
Stakeholders adalah orang atau
instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan.
R. Edward Freeman : “ Individu -
individu dan kelompok- kelompok yang dipengaruhioleh tercapainya tujuan- tujuan
organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhitercapainya tujuan-tujuan
tersebut “.
Kamus bahasa Indonesia : “ pihak yang
berkepentingan “ yaitu semua pihak yang
berkepentingan dengan suatu perusahaan.
Manfaat Bagi Stakeholders
Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan
pasti berkepentingan dengan sepak terjang perusahaan. Kalau perusahaan
memeperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden.Kalau tidak, mereka
tidak mendapat apa-apa. Disamping para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga dengan
aktivitas suatu perusahaan. Seperti : manajer,karyawan, pemasok, konsumen,
masyarakat sekitar lokasi perusahaan, masyarakat luas, pemerintah, lingkungan
hidup, dan sebagainya.Stakeholders dibagi lagi atas 2 pihak :1.
Pihak berkepentingan internal (
orang dalam dari suatu perusahaan )Orang atau instansi yang secara langsung
terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegangsaham, manajer, dan
karyawan.1.
Pihak berkepentingan eksternal ( orang luar dari suatu
perusahaan )orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam
kegiatan perusahaan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan
hidup.Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan.
Misalnya, para pemasok pada umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan
eksternal. Tetapi jika pemasok tersebuthanya memasok kebutuhan satu perusahaan
saja maka ia termasuk pihak
berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung kecil
yang menyediakanmakanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya tergantung pada
perusahaan.Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua kehilangan
sumber pendapatannya.Paham stakeholders ini membuka prespektif baru untuk
membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau
dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham
dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup atau memindahkan suatuunit
produksi dalam suatu pabrik
Dampak negative yang timbul dalam rangka mendapatkan
keuntungan yang sebesar besarnya dalam
dunia perfilman
Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan
perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam
keadaan semacam itu karyawan diperalat
begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya
dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan
yang bekerja dalam perusahaan, dalam pemaksimalan keuntungan itu sendiri
pastinya juga akan menimbulkan dampak negative ,dalam hal ini adalah persaingan
yang tidak sehat dalam dunia pertelevian
Fungsi pertelevian sejatinya memiliki fungsi sebagai media
yang memiliki fungsi untuk memberi informasi dan hiburan, namun dalam
perkembanganya banyak televise ataupun stasiun televise yang mengabaikan nilai
nilai moral, melakukan persaingan yang tidak sehat.
Sekarang ini sedikit sekali stasiun televise yang
mengutamakan pendidikan moral, edukasi , ataupun informasi informasi yang
bermanfaat, tetapi saat ini banyak sekali tayangan televise yang tidak memili
manfaat ataupun kepentingan untuk masyarakat, karena hanya menampilkan tayangan
yang hanya sekedar untuk hiburan atau bahkan banyak hal negative didalamnya ,
banyak sekali saat ini tayangan tayangan televise yang menyalahi norma ,
sebagai contoh, sebuah stasiun televise
yang menampilkan sinetron sinetron .
Ketika melihat merebaknya berbagai sinetron saat ini, secara tidak disadari
kita sedang mengarah kepada pembentukan sistem nilai sesuai dengan apa yang
ditampilkan di dalam sinetron tersebut. Ketika ditampilkan konflik si kaya dan
miskin, seorang kaya dikesankan dengan kemewahan dan kekuasaan yang diukur dari
banyaknya harta dan tingginya jabatan. Sedangkan si miskin ini hidup dengan
seadanya dan kekurangan secara materi. Padahal kemiskinan itu tidak semata
diukur dari materi saja. Hal tersebut seperti menyampaikan sistem nilai yang
dibawa oleh kapitalisme bahwa siapa yang kaya dia adalah orang yang memiliki
banyak harta. Hanya sedikit sinetron yang mengajarkan kekayaan hati. Sinetron
ini menggambarkan kekayaan yang tidak diukur melalui harta semata-mata, seperti
Si Doel dan Keluarga Cemara.
Beberapa jenis sinetron yang ada di TV Indonesia saat ini membawa dampak
negatif bagi pemirsa. Tayangan yang membawa cerita mistik mengarahkan kepada
keterbelakangan mental dan syirik terhadap Sang Maha Pencipta. Keterbelakangan
mental dalam hal ini adalah menggambarkan betapa hebatnya jin dengan
kekuatan-kekuatannya sehingga manusia seolah menjadi takut dan mendorong
manusia takut. Ketika orang menonton sinetron jenis ini, orang tersebut akan
merasa bahwa setan itu ada dan senantiasa nyata dan menakuti manusia bahkan
bisa membunuhnya. Di sisi lain, ketika manusia percaya adanya setan dan merasa
takut maka sebenarnya kita sudah masuk kepada rasa syirik kepada Maha Pencipta.
Rasa takut tersebut disebabkan karena suguhan dari tayangan yang mengesankan
zat yang gaib lebih kuat dari manusia. Dalam hal ini, unsur agama dijadikan
sebagai penghancur dari keberadaan makhluk tersebut padahal tidak ada
hubungannya sama sekali. Suatu ketika ada seseorang yang diganggu oleh makhluk
halus dan memperlihatkan kitab suci lantas digambarkan makhluk halus tersebut
terbakar. Hal tersebut sudah masuk kepada kesesatan.
Selain itu, jenis sinetron yang membawa dampak buruk adalah sinetron dengan
unsur cinta yang kuat. Dalam hal ini sistem nilai kembali mengalir deras.
Sepasang anak muda dibuat tidak berdaya dan putus asa karena dipisahkan dengan
kekasihnya. Di antara persoalan hidup lain, cinta digambarkan sebagai sebuah
persoalan hidup yang amat sulit. Tidak tampak usaha yang keras untuk bertahan
hidup dan kerja keras dalam bertahan hidup.
Namun mereka pihak pihak yang terlibat didalamnya mengabaikan dampak dampak
tersebut karena meraka masih mengutamakan keuntungan perusahaan tanpa
memikirkan kerelativitasan keuntungan itu sendiri.